Bergulat dengan fase kepompong

Ms. Novilosophy
2 min readJun 19, 2020

Kebiasaan menulis apa saja sebagai cara berekspresi membuatku mencoba berbagai macam bentuk dan gaya penulisan. Kadang orang menyebutnya puisi hingga cerita inspirasi, luapan gundah hingga sampah. Ya tidaklah apa. Keberanianku menuliskannya ulang di media seperti ini menjadi kebangganku tersendiri, hingga sedikit demi sedikit mencoba ikut acara seperti bulan lalu. Dan untuk kesekian puluhan kali, hanya diberikan kesempatan mencoba dan berakhir sebagai “peserta” bahagia.

Ya memang jika ditelaah lebih dekat, kedua karyaku di bawah ini masih terlampau biasa dan jau dari spektakuler. Coba saja baca :(

(Yang Seharusnya) Hadiah Ulang Tahun Ayahku

Bergegas sebelum senja menghampiri,
Berlari dengan sedikit gaun hitam menyapu tanah kering,
Senyum merekah di pembuka Bulan Juli,
Tidak akan banyak kata untuk sekedar menggerutu,
Kali ini aku sungguh-sungguh mengimani setiap derap langkah kakiku,
Sambil mengayunkan sekeranjang penuh mawar merah,
mawar putih,
melati,
kenanga,
kantil putih,
kantil kuning,
sedap malam,
dan kamboja,
Ku niatkan duduk bersimpuh di samping batu nisan hitam bertinta emas,
“Terima kasih, ayah. Ini untukmu.”
Bisikku lirih sambil mendekap kumpulan LoA di dadaku

***

Ia Yang Jasadnya Tak Boleh Dikebumikan

Tertunduk lesu jalani hari
Terpasung kaku bersahabat sepi
Mencari secercah harap penuh misteri
Pertarungan antara hidup dan mati

Tiada yang percaya bahwa semua sirna
“Tuhan sedang murka” kata orang desa
“Kita terkena bencana” kata orang kota
“Bumi hanya melakukan tugasnya” kata orang gila

Wajah lusuh penuh ruam hilir mudik
Serahkan jiwa dan raga meski semua pelik
Memeriksa dengan sekuat tenaga meski bergidik
Memaksakan seluruh kehendak dengan perasaan tercabik

Ia selalu hadir dalam setiap peperangan
Tak pernah angkat senjata dan jarang dianggap pahlawan
Siapa sangka ia adalah perpanjangan tangan Tuhan
Penuh dedikasi meski dekat kematian

Tetapi hari itu ia menyerah dalam diam
Matanya sungguh berat laksana larut malam
Yang ia tahu, saatnya menunggu antrian untuk bersemayam
Karena yang ia tahu tersenyum tanpa bermuka masam

“Ayah, ibu di mana?” Tanya seorang anak
“Sabar ya, nak. Ibumu gugur sebagai pahlawan” jawab ayahnya sambil terisak
“Lalu kenapa ibu tidak di samping kakak?”
“Maaf, nak. Akibat pandemi ini jasad ibumu tak bisa berada di samping kakak”

“Kematian ibumu bisa bapak ikhlaskan,
tapi kematian hati nurani warga yang menolak ibumu dikebumikan di kampung kelahiran kita
akan sulit bapak lupakan”

***

Bagaimana?
Tentu saja aku ingin masih terus berlatih. Seperti ada kebahagiaan tersendiri jika memang benar caraku berekspresi adalah di sini dan dengan cara ini. Semoga saja bisa jadi pemenang, tapi itu bukanlah tujuan utamaku.

Puisi ditulis di Yogyakarta, 22 April 2020 – 4:17 AM
Diumumkan pada 13 Juni 2020 – 6PM
Mencoba di berikan ulasan sendiri pada hari ini 19 Juni 2020 –10:36 AM

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Ms. Novilosophy
Ms. Novilosophy

Written by Ms. Novilosophy

“Look at me as many times as you wish, but you won’t get to know me! Since you have last seen me, I’ve changed a hundred times!” ~ Rumi

No responses yet

Write a response