Ia Yang Jasadnya Tak Boleh Dikebumikan

Tertunduk lesu jalani hari
Terpasung kaku bersahabat sepi
Mencari secercah harap penuh misteri
Pertarungan antara hidup dan mati
Tiada yang percaya bahwa semua sirna
“Tuhan sedang murka” kata orang desa
“Kita terkena bencana” kata orang kota
“Bumi hanya melakukan tugasnya” kata orang gila
Wajah lusuh penuh ruam hilir mudik
Serahkan jiwa dan raga meski semua pelik
Memeriksa dengan sekuat tenaga meski bergidik
Memaksakan seluruh kehendak dengan perasaan tercabik
Ia selalu hadir dalam setiap peperangan
Tak pernah angkat senjata dan jarang dianggap pahlawan
Siapa sangka ia adalah perpanjangan tangan Tuhan
Penuh dedikasi meski dekat kematian
Tetapi hari itu ia menyerah dalam diam
Matanya sungguh berat laksana larut malam
Yang ia tahu, saatnya menunggu antrian untuk bersemayam
Karena yang ia tahu tersenyum tanpa bermuka masam
“Ayah, ibu di mana?” Tanya seorang anak
“Sabar ya, nak. Ibumu gugur sebagai pahlawan” jawab ayahnya sambil terisak
“Lalu kenapa ibu tidak di samping kakak?”
“Maaf, nak. Akibat pandemi ini jasad ibumu tak bisa berada di samping kakak”
“Kematian ibumu bisa bapak ikhlaskan,
tapi kematian hati nurani warga yang menolak ibumu dikebumikan di kampung kelahiran kita
akan sulit bapak lupakan