Rekonsiliasi 2 : Hebat!!!
Pada akhirnya… Telah diceritakan sebuah kisah yang sering digaungkan. Akan kisah derita dan luka dalam cinta. Entah oleh penyair, pencerita ulung, penulis romansa kehidupan. Kini giliranku yang fakir perihal cinta ini, menuliskan kisahku sendiri.

Tengoklah barang sebentar kepadaku yang pernah menjadi rumahmu. Melihatku dengan perasaan dan hati kecilmu tanpa ragu. Masih dengan bola mataku yang sama, kau akan menemukan dirimu di sana. Pada akhirnya aku tau bahwa ketidaktahuanku dan ketidakpastianmu membunuhku perlahan dan lebih kejam dari sebuah pembunuhan.
Aku mengira ketulusan adalah kenormatifan. Yang mudah disiarkan, namun jarang terimplementasikan. Sekarang aku paham, ketulusan adalah memberi tanpa mengharap kembali, mencintai tanpa ada balas, mendoakan dalam diam, menyapa dalam angan, membiarkan kamu pergi dengan keputusanmu, dan menjalani sisa umur melihat bahagiamu. Sebenar-benarnya tulus bukan adanya karena-tapi-melainkan.
Bukan!
Kau tau kepompong? Ketulusanku mencintaimu layaknya aku merawat kepompong yang sudah ku pahami, kamu akan jadi kupu-kupu cantik yang akan terbang tinggalkanku. Itulah ketulusan yang aku maksud.
Selayaknya aku menanam pohon. Aku semai. Aku rawat. Aku siram. Aku pupuk. Aku ajak berdialog dan bernyanyi. Dan aku lupa pohonku yang berbuah bisa juga dinikmati orang lain. Apa yang ku rawat, memberikan kebahagiaan kepada banyak orang. Aku tidak turut memanen pohon yang aku rawat dan buah yang dihasilkan. Tapi aku cukup bahagia, dengan melihat kebahagiaan orang lain atas pohon yang aku rawat. Pada akhirnya, beginilah ketulusan yang kau maksudkan?
Aku sempat mengira pula, bahwa kisah Layla Majnun yang dulu aku sering baca, hanyalah sebuah dongeng yang tak mungkin nyata. Karena aku ragu ada Layla dan Majnun dengan segala macam hiperbolis kisah yang dituturkan. Namun, sekarang aku paham bagaimana menjadi Majnun, yang menetap mencintai walau setelah disakiti.
Aku, tak pernah mengira akan memahami apa yang BJ Habibi katakan saat itu…
“Saya tidak pernah menyangka hubungan antara dua manusia akan sedemikian dahsyatnya indah, tapi perih.”
Pada akhirnya, di titik inilah aku berada. Yang termenung mencoba memahami dan menerima takdir bahwa engkau tak memilihku menjadi rumahmu lagi. Yang telah menyakiti penantianku atas janjimu, namun pada akhirnya tetap memilih mencintaimu.

Chapter kesekian dari lukisan kisahmu saat itu adalah betapa tutur angkuhmu menjelaskan padaku akan batu yang akhirnya bisa berlubang hanya karena tetesan air yang terus menerus. Pada akhirnya, engkau sendiri yang berhenti meneteskan air itu sebelum nampak si batu berlubang. Tersisalah aku termenung sendirian.
Dengan kisah yang sama di bagian chapter lain, sempat kau bulatkan tekad untuk meninggalkan segala yang kau punya demi seorang aku. Masih ingat apa yang aku katakan padamu? Jangan! Rasa kasih, sayang, dan hormatku padamu mengatakan bahwa itu jahat. Aku telah menerimamu dengan segala keadaanmu (dan ku katakan kembali) tanpa karena-tapi-melainkan. Kini, nyatanya aku yang kau tinggalkan tidak mengatakan ini jahat. Aku hanya sakit dan terluka karenanya. Pada akhirnya, kau tak mampu lagi kuat mengayunkan langkahmu dan tanpa kata… musnah.
Jika dia rela meninggalkan orang lain demi kamu, BISA JUGA dia rela meninggalkan kamu demi orang lain.
Masih terperangkap dalam alur bagian dari permainanmu ini, dalam renungan sering terlintas kerisauan yang memekkan kepercayaan diriku sebagai diriku sendiri. Ramai bersahutan dialog antara aku dan aku, apakah laki-laki yang aku percaya dan imani ini hanya sedang bermain-main dengan sengaja? Apakah kerja kerasmu memang untuk dibuang sia-sia? Apakah dengan memilih proses yang instan, seseorang jadi menemukan keyakinan? Mengapa kisah yang kau lukiskan tidak bisa kau akhiri dengan kelelakianmu?Pada akhirnya, kau adalah bentuk penyesalan yang aku banggakan.
Aku, yang kini mencintaimu sendirian, tak lagi kuat menopang segalanya sendiri. Namun, tak jua kokoh untuk melupakanmu, menghapus memori. Sekuat apapun usaha untuk melupakan, ia akan semakin melekat dalam ingatan. Aroma dan kehangatan tubuhmu yang masih sama terasa hingga saat ini, pada akhirnya membuatku memilih menetap.
Siapakah aku di matamu?
Setelah luka pertamaku dalam balutan 7 tahun yang kau pun pahami. Aku belajar bagaimana menjadi penyabar, mencoba memahami apa itu sabar, dan bagaimana kesabaran bisa membawaku dalam ketenangan hidup. Hingga pada akhirnya, aku dan kamu dipertemukan semesta walau berakhir tak bahagia.
Kini di tempat yang sama, dengan goresan luka yang baru, dalam luka 7 tahunku yang kedua kalinya, aku memahami kemurnian kerelaan. Buah dari kisah permainanmu yang kau lukiskan padaku.
Sempat tersiksa dan masih menyiksa bagaimana manusia kembali jatuh di persoalan yang sama, membuat krisis segala bentuk positivisme akan diri sendiri. Tidak untuk menyalahkan diri menjadi yang terlalu setia dan percaya, tidak. Hanya saja, apa salah jika menjadi yang setia? Pada akhirnya, kau adalah kesalahan yang aku rindukan.
Aku berani memberikan setia, sebab siapapun kamu yang berani menembus bentengku, kamu layak. Aku yakin sejauh apapun perjalanan asmaraku dulu dan kelak, tetaplah aku yang menjadi lakon utama sebagai petahana. Aku, yang berdiri kokoh untuk menerima orang asing masuk dalam hidupku. Lalu kau membuat pelangi tak lagi berwarna. Dan akhirnya memilih langkah yang tak lagi seirama.
Dan terulang lagi…
Membuat tembok setinggi-tingginya dengan beribu-ribu lapis pintu baja, lalu mengatur strategi agar tak ada yang bisa masuk dalam singgasana yang dengan susah payah ku bangun lalu dirobohkan orang lain itu. Tetap saja… Aku kembali membiarkan orang asing untuk mengacak-acaknya. Membiarkannya masuk ke dalam ruang utama dan menyerahkan kunci dari pintu terakhir. Kini tinggallah aku yang kembali sendiri. Mencoba sekuat tenaga mengais bongkahan dan reruntuhan yang hampir menjadi debu untuk ku buat kembali singgasana baruku. Ditambah tak kunjung menemukan kunci pintu terakhirku. Aku lupa bahwa kali ini aku benar-benar ikut sirna.
Dengan aku yang tak lagi sama, aku tak lagi kuat membangunnya kembali. Aku perlu waktu. Dan berharap aku masih diberikan waktu untuk kembali sendirian dalam gelap. Menjadikan diriku sendiri sebagai lilin untuk menerangi perjalanan selanjutnya.
Demi masa… Sesungguhnya ku hormati semua keputusanmu. Tapi tidak dengan memori yang terlanjur mengalun indah di ingatan. Tapi tidak dengan hatiku yang terlanjur terluka namun tetap mencintaimu. Tapi tidak dengan akhir lukisan kisahmu yang tidak dewasa — yang hanya bisa diam dan menghilang tiba-tiba. Tapi tidak dengan kesibukanku untuk menyalahkan kebodohanku, kesetiaanku, dan kepercayaanku padamu.
Jika Kang Maman pernah menuliskan hal ini…
“Puncak tertinggi dalam mencintai adalah kehilangan. Dan kehampaan tanpa batas pengharapan adalah abadi mencintai.”
Aku jadi semakin yakin betapa hidup yang sementara ini hanyalah sebuah perjalanan. Kadang harus singgah dan disinggahi, karena tidak adanya kekekalan. Kadang harus berlari dan merangkak, karena tidak ada cukup waktu. Kadang harus naik-turun, berbelok tajam, karena tidak ada jalan yang selalu lurus. Kadang menghabiskan waktu untuk berproses, karena tidak ada sesuatu yang instan yang kekal.
***
Dan pada akhirnya…
Kepada kerapuhan jiwa-jiwa, berbahagialah
Berharap kepada yang bukan nyata
Hanya akan menyiksa
Kepada masa yang ku anggap lalu, terimalah
Berandai-andai pun percuma
Juga cukup menguras tenaga
Kepada goresan takdir, berdamailah
Walau yang tersisa adalah sesal belaka
Dan tak cukup mengubah segalanya
Kepada yang terluka, hidupilah
Rayakan pahit manis cinta
Sesungguhnya itulah penawar luka
Kepada perjalanan selanjutnya, mulailah
Jadikan sakitmu hari ini bahan bakarnya
Suatu kali jika datang siksa yang sama, cukup beristirahatlah
Kepada riuhnya pembuat luka, tunggulah
Saat itu akan datang bersahut-sahutan segera
Sebagai pengingat bahwa masih ada aku yang terluka
***
Kau, Arjunaku
Aku, Si Gadis itu
2015–2022
~The end~